MAKALAH
KEARIFAN LOKAL DI PULAU JAWA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Geografi
DISUSUN OLEH:
FIKARTIKEL.BLOGSPOT.COM
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,Karena berkat karuniaNya lah kami telah dapat menyelesaikan karya tulis ini.
Dengan terselesainya penulisan karya tulis ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada guru bidang studi Yang telah banyak memberikan masukan kepada kami sehingga terselesainya Makalah ini., Serta kepada Orang tua dan teman-teman yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak langsug dalam menyelesaikan karya tulis ini.
kami menyadari keterbatasan ilmu, Penelitian dan pengalaman dalam membuat karya tulis ini, oleh karena itu, Masukkan berupa saran dan kritikan yang berguna sangat kami harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini dan semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan juga para pembaca.
DAFTAR ISI
BAB I PEDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN PENULISAN
C. RUMUSAN MASALAH
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
klik 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupanbermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan local merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal.
Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan sumberdaya alammerupakan sumberdaya yang mencakup sumberdaya alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan.
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan demikian memerlukan pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sehingga dapat meningkatkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri.
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari macam-macam bentuk kearifan lokal di pulau jawa
C. RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?.
Apa saja bentuk kearifan lokal di pulau jawa?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yakni kearifan “wisdom” yang artinya kebijaksanaan dan lokal “local” yang berarti daerah setempat.
secara umum pengertian dari kearifan lokal ialah gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana Dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun.
Kearifan lokal memiliki beberapa ciri-ciri yaitu:
• Mempunyai kemampuan memgendalikan.
• Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
• Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar.
• Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
• Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan kearifan lokan disetiap daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.
klik3
B. KEARIFAN LOKAL DI PULAU JAWA
a. KEARIFAN LOKAL DI BANTEN
Suku Baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni. Mereka selalu menjaga dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik. Efeknya, alam memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup mereka. Mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah gempuran modernitas dan globalisasi saat ini, nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Kearifan lokal dimasyarakat Baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk masyarakat kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas. Oleh karena itu banyak sekali baik individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke suku Baduy.
Wisatawan berkunjung untuk melihat keindahan alam ataupun belajar akan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku Baduy. Hebatnya lagi adalah kemampuan suku Baduy untuk bisa mempertahankan kebudayaanya dari kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk melalui para pengunjung yang datang.
Baduy terletak di Desa Kanekes terletak di Gunung Kandeng yang sebagian wilayahnya adalah hutan. Wilayah ini termasuk ke dalam Propinsi Banten tepatnya di Kabupaten Lebak Leuwi Damar. Kelompok masyarakat Baduy terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Luar, dan Baduy Dalam. Keduanya berada di Desa Kanekes hanya saja ada beberapa aturan adat yang berbeda.
Kondisi alam Desa Kanekes ini terdiri dari bukir-bukit yang tersusun berjajar, sehingga untuk berjalan dari satu desa ke desa yang lainnya membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Belum lagi jika berkunjung saat musim hujan. Jalan menjadi sangat licin dan perlu berhati-hati.
Masyarakat Baduy ini sangat menjaga budaya dan adat istiadat yang diwariskan nenek moyangnya sehingga banyak sekali pantangan-pantangannya dengan alasan untuk menjaga alam atau pun menjaga tradisi seperti halnya, dilarang menggunakan trasportasi, menggunakan listrik, menggunakan elektronik, menggunakan sabun, odol dsb. Masyarakat Baduy sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya.
Sistem ekonomi Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup. Artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam. Adapula yang bekerja di hutan untuk mencari madu.
Hasil kerja mereka kemas dengan alat secukupnya dan dijual ke kota. Mungkin tidak jarang orang-orang yang berada di Jakarta, Bogor, Tanggerang dsb menemukan masyarakat Baduy menjual madunya atau kain tenunnya. Sementara wanita suku Baduy bekerja di rumah seperti menenun kain, selendang, sarung, gantungan serta kerajinan lainnya seperti membuat tas dari serat akar-akar pohon. Wanita Baduy sendiri diwajibkan untuk memiliki keahlian menenun sebagai bukti bahwa dirinya sudah cocok untuk dipinang.
Nilai-nilai kearifan masyarakat Baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya. Bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia.
Masyarakat Baduy memupuk tanamannya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik. Sebuah nilai kearifan lokal masyarakat Baduy yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan. Selain itu dalam menanggulangi hama padi, masyarakat Baduy memilih mengusir daripada membunuh.
Dalam bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy menggunakan racikan biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan.
Upaya mengusir hama padi huma tersebut tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy. Mengapa demikian? Pasalnya, berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau rawun pare orang Baduy dikenal secara ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan pengusir hama (repellent).
Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu’unan (kepu’unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah sembilan orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro dua belas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.
Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.
Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.
b. KEARIFAN LOKAK DI JAWA BARAT
Sejatinya, perkembangan budaya di Jawa Barat selalu diiringi oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam kaitan tersebut, yang berkembang bisa saja dimulai dari perkembangan (dialek) bahasa, cara hidup, sosial, dan pemerintahan. Tentu ini merupakan suatu gejala sosial yang dapat diamati. Karena manusia mempunyai cara pandang yang tak terbatas mengenai masyarakatnya. Masyarakat merupakan komunitas dari sebuah sistem suatu peradaban. Yang mana kita sendiri merupakan bagian dari masyarakat tersebut.
Sejak dahulu, Jawa Barat disebut juga sebagai Tatar Pasundan atau Tatar Sunda. Dan masyarakatnya dapat diidentifikasi melalui bahasanya, yaitu bahasa Sunda. Begitu pula dengan daerah lain. Jawa Barat pun mewariskan berbagai peninggalan budaya serta kearifan lokal masyarakatnya sebagai wujud dari eksistensi sebuah peradaban. Salah satunya yaitu eksistensi kampung adat. Keberadaan kampung adat di Tatar Pasundan ini dapat juga merupakan simbol dari budaya luhung para nenek moyang kita. Yang sejak dahulu sudah hidup secara beradab dengan segala kedinamisan di dalam tata kehidupannya.
Namun sekarang, keberadaan dari kampung adat di Jawa Barat kian tergerus oleh zaman. Jika ini dibiarkan berlarut maka keberadaan kampung adat sebagai simbol kearifan lokal nenek moyang kita akan hilang. Sungguh sangat disayangkan jika kelak anak-cucu kita mengetahui kampung-kampung adat Jawa Barat hanya dari lembaran-lembaran buku sejarah. Sebut saja di antaranya yang masih eksis sampai sekarang yaitu, Kampung Ciptagelar, Kampung Cikondang, Kampung Mahmud, Kampung Urug, Kampung Pulo, Kampung Naga, Kampung Kuta, dan Kampung Dukuh.
Pemerintah dalam hal ini mesti segera oper perseneleng untuk melestarikan serta melindungi budaya dan kearifan lokal (local wisdom) dari kampung adat. Secara kultural, sistem kemasyarakatan dari kampung ada pada zaman dahulu itu tidak kalah canggih dengan sistem kemasyarakatan saat ini. Hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut.
Pertama, istilah “hutan larangan” sebagai upaya pelestarian hutan yang secara adat tidak boleh dimasuki secara sembarangan. Ini sama ubahnya dengan peran Kementrian Perhutanan sekarang yang menjaga dan mengatur kelestarian sumber daya hayati hutan kita. Secara linguistik, masyarakat dahulu menciptakan istilah tabu agar ditaati warganya, tidak merambah hutan, dan merusaknya.
Kedua, adat istiadat yang secara normatif diatur dan dibuat untuk ketentraman kehidupan bermasyarakat. Ini juga sama dengan peran Kementrian Hukum dan Ham pada masa sekarang.
Ketiga, tata bentuk rumah-rumah yang seragam di kampung adat yang secara semiotik—ilmu yang mengkaji tanda—dapat diidentifikasi sebagai rasa tenggang rasa antarsesama manusia (dan makhluk hidup lainnya).
Keempat, budaya disiplin masyarakat kampung adat yang sejak pagi buta telah terbiasa mulai beraktivitas. Ini merupakan cerminan dari sikap asli bangsa kita.
Kelima, ekonomi dan pertanian yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat kampung adat. Ini menjadi ciri bangsa kita sebagai bangsa yang agraris.
Itu semua merupakan sebagian kecil dari kearifan lokal (local wisdom) yang patut kita lestarikan. Karena bangsa kita dikenal dengan bangsa yang kaya dengan budaya. Dan kearifan lokal tersebut merupakan jati diri bangsa kita yang sebenarnya. Tetapi, banyak permasalahan pelik yang menyangkut eksistensi masyarakat kampung adat sekarang mengenai hal-hal yang bersifat administratif pemerintahan. Alih-alih berkembang ke arah yang lebih baik, malah sebaliknya. Mungkin itulah sebabnya eksistensi dari kampung adat mulai pudar.
c. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JAWA
a. Tradisi Mretelung dan Bawon Petani Purbalingga
Bagi masyarakat pedesaan di Jawa, bertani tidak sekadar mata pencarian, tetapi juga media interaksi sosial. Maka, tak heran tradisi budaya tertentu tercipta dari interaksi sosial dalam kegiatan bertani. Ini seperti terlihat dalam tradisi mretelung, bawon, dan ngasak saat panen pada masyarakat di Desa Selaganggeng, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Mretelung dilakukan sehari, kadang sampai dua hari, tergantung dari luas lahan yang dipanen. Upah yang mereka dapatkan disebut bawon.
b. Grebeg Mulud
Ritual untuk memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW ini dimeriahkan berbagai pertunjukan dan pasar rakyat yang memasarkan souvenir dan kerajinan tangan lainnya. Ada pula pameran benda-benda pusaka di PagelaranKeraton. Puncak dari perayaan Sekaten adalah keluarnya Gunungan dari Keraton menuju Masjid.
c. Pranoto Mongso
Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
Urut-urutan pranoto mongso menurut Sastro Yuwono (http: //kejawen. co. cc/ pranoto mongso aliran musim jawa Asli ) adalah sebagai berikut :
1) Kasa berumur 41 hari (22 Juni – 1 Agustus). Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam polowijo.
2) Karo berumur 23 hari (2 – 24 Agustus). Polowijo mulai tumbuh, pohon randu dan mangga mulai bersemi, tanah mulai retak/berlubang, suasana kering dan panas.
3) Katiga/katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September). Sumur-sumur mulai kering dan anin yang berdebu. Tanah tidak dapat ditanami (jika tanpa irigasi) karena tidak ada air dan panas. Palawija mulai panen.
4) Kapat berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, pohon kapuk mulai berbuah
5) Kalima berumur 27 hari (13 Oktober – 8 Nopember). Mulai ada hujan, petani mulai membetulkan sawah dan membuat pengairan di pinggir sawah, mulai menyebar padi gogo, pohon asam berdaun muda.
6) Kanem berumur 43 hari (9 Nopember – 21 Desember). Musim orang membajak sawah, petani mulai pekerjaannya di sawah, petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan.
7) Kapitu berumur 43 hari (22 Desember – 2 Februari ). Para petani mulai menanam padi, banyak hujan, banyak sungai yang banjir, angin kencang
8) Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27 hari (3 Februari-28 Februari Padi mulai hijau, uret mulai banyak
9) Kasanga berumur 25 hari (1 - 25 Maret). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, tonggeret mulai bersuara
10) Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan bunting
11) Desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen raya
12) Sadha berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni) . Petani mulai menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung.
Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam. Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi tantangan petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa.
d. Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yakni kearifan “wisdom” yang artinya kebijaksanaan dan lokal “local” yang berarti daerah setempat.
Nilai-nilai kearifan masyarakat Baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Sejak dahulu, Jawa Barat disebut juga sebagai Tatar Pasundan atau Tatar Sunda. Dan masyarakatnya dapat diidentifikasi melalui bahasanya, yaitu bahasa Sunda. Begitu pula dengan daerah lain. Jawa Barat pun mewariskan berbagai peninggalan budaya serta kearifan lokal masyarakatnya sebagai wujud dari eksistensi sebuah peradaban. Salah satunya yaitu eksistensi kampung adat. Keberadaan kampung adat di Tatar Pasundan ini dapat juga merupakan simbol dari budaya luhung para nenek moyang kita. Yang sejak dahulu sudah hidup secara beradab dengan segala kedinamisan di dalam tata kehidupannya.
Masyarakat jawa telah melakukan beberapa kearifan lokal yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti tradisi Mretelung dan Bawon Petani Purbalingga, grebeg mulud, dan proto mongso.
Post a Comment
0 Comments