fiqih xii
makalah fiqih tentang kaidah usul fiqh: Khas, Mujmal, dan Mubayan
by
A. Taufik
January 31, 2018
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat bagi Nabi Muhammad Saw yang diberikan oleh Allah Swt. Al-Quran berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi, mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila kita perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya, tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit tentang : Khas, Mujmal Dan Mubayyan dalam Al-Qur’an.
B. RUMUSAN MASALAH
1. apa tiu Khas?;
2. apa itu Mujmal? Dan;
3. apa itu Mubayyan?.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi tugas yang di berikan;
2. Untuk mengetahui tentang Khas;
3. Untuk mengetahu tentang Mujmal dan;
4. Untuk mengetahui tentang Mubayyan.
BAB II PEMBAHASAN
A. KHAS
1. PENGERTIAN KHAS
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya [1].
2. CIRI-CIRI KHAS
Suatu lafal nash dikatagorikan kepada al-khas, bila lafal tersebut diungkapkan dalam bentuk atau karaktristik berikut ini:
a. Diungkapkan dengan menyebut jumlah atau bilangan dalam satu kalimat
b. Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang
c. Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofat
Dari ketiga ciri atau karaktristik diatas dapat dipahami bahwa lafal al-khas menunjukan makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam nash ditemukan lafal-lafal seperti karaktristik diatas, maka digolongkan pada al-khas[2].
3. KETENTUAN KHAS
a. Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia menunjukan artinya yang khas secara qath’i al-dalalah (penunjuk yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah/5:89
Maka kaffarahnyan adalah memberi makan sepuluh orang miskin.
Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu. Umpamanya sabda Nabi:
Untuk setiap empat puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing
Oleh ulama hanafi zakat kambing dalam hadist itu dita’wilkan kepada yang lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya. Juga menta’wilkan lafaz hadist: “segantang kurma” dalam kewajiban zakatfitrah, kepada “haraga segantang kurma”.
c. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan pula hukum yang khushush dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan hukum ‘amm itu.
d. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil amm, terdapat perbedaan pendapat.
1) Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khas mentakhsiskan yang amm, karena tersedianya persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan: 1) bila lafaz amm terkemudian datangnya, maka lafaz amm itu menasakh lafaz khas itu menasakh lafaz‘amm dalam sebagian afradnya.
2) Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya pembenturan antara dalil ‘amm dengan dalil khushushkarena keduanya bila datang dalam waktu bersaan maka yang kahas memberi penjelasan terhadap yang amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan di samping untuk diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafazamm[3].
4. CONTOH KHAS
Adalah ayat 89 surat Al-maidah:
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka… (QS. Al-Maidah/5:89)
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi (metafora)[1].
5. MACAM-MACAM KHAS
a. Lafadz has berbertuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat
Contoh:والذين يظهرون من نسائهم ثم يعدون لما قا لوافتحريررقبة من قبل ان يتماسا ذالكمتو عظون به والله بما تعملون خبي
Atinya : orang –orang yang mendzihar istri mereka. kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid)
Contohnya surat Annisa’ 42
ومن قتل مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة
Artinya: barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seotang hamba sahaya yang beriman.
c.Lafadz khas berbentuk amr
Contohnya dalam syurat annisa’ 58
ان الله ياء مروكم ان تؤدواالامنت الى اهلها
Artinya : sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerinanya
d. Lafadz khas yang berbentuk larangan
Contoh surat annahl 90 ;
ان الله ياء مرون با لعدل والاءحسن وايتائ ذئ القربى وينهى عن الفحشاء والمنكروالبغى يعظكم لعلكم تذكرون
Artinya: sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan member kepada kaum kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran[3].
6. HUKUM KHAS
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak terpengaruh.
a. Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.
b. Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
c. Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.
7. DALALAH AL-KHAS DAN PANDANGAN ULAMA
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.
Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini[2].
B. MUJMAL
1. PENGERTIAN MUJMAL
Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
Contoh: lafadz yang masih memerlukan lainnya untuk menentukan maknanya: kata ” rapat ” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki dua makna: perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al Qur’an misalnya surat al Baqarah: 228 وَالْمُطَلَقَاتُ يَتَرَبَصْنَ بِاَنْفُسِهِنَ ثَلَاثَةَ قُرُوء
wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. kata ” قروء ” dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga untuk menentukan maknanya membutuhkan dalill lain.
contoh: lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tatacaranya. Surat An Nur: 56 وَاَقِيمُ الَصَلَوةَ Dan dirikanlah sembahyang.,
Kata “ mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tatacaranya. Begit pula ayat- ayat haji dan puasa
Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa Mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik ketidak jelasannya itu akibat peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara’ ataupun karena sinonim lafazh itu sendiri ataupun karena lafazh itu ganjil artinya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya dari pada musykil, sebab penjelasan mujmaldiperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad. Contohnya lafazh shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Dari aspek keharusan adanya penjelasan dari syara’ tentang lafazh mujmal itu timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran[4].
2. CONTOH MUJMAL
a. Contoh lafal yang mujmal, sebagaimana firman Allah:
المطلقَّات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Perempuan yang diceraikan suaminya, menantikan iddahnya tiga quru” (Q.S.al-baqarah : 228). Lafal quru ini disebut mujmal karena mempunyai dua arti, yaitu haid atau suci. Kemudian mana diantara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan penjelasan, yaitu bayan. Itulah suatu contoh ijmal dalam lafal tunggal.
b. Contoh dalam lafal murakkah (susunan kata-kata) sebagai berikut:
او يعفوالذى بيده عقدة النكاح . (البقره : ۲۳٧)
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan”. (Q.S. Al-Baqarah : 237). Dalam ayat tersebut masih terdapat Ijmaltentang menentukan siapakah yang dimaksud orang yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud suami atau wali. Kemudian untuk menentukan siapa diantara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah maka diperlukan bayan.
c. mujmal pada tempat kembalinya dhamir yang ihtimal (layak) menunjukan dua segi, sebagaimana sabda Nabi SAW :
لا يمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة فى حدره
“Janganlah salah seorang diantara kamu menghargai tetangga untuk meletakkan kayu pada dindingnya”.
Kata-katanya pada dindingnya masih mujamal artinya belum jelas, apakah kembalinya itu kepada dinding orang itu atau kepada tetangganya.
Keterangan:
Mujamal ini hampir sama dengan ‘am (umum) dan muthlaq. Karena itu, perlu mengetahui perbedaan antara ketiga makna tersebut agar tidak salah menentukan masalahnya.
Untuk memahami mujmal dan menemukan bagian-bagian dan berbagai bentuknya mutlak diperlukan adanya penjelasan (mubayyin) yang menerangkan makna secara rinci. Tapi sesudah keterangan dan rincian ini, orang masih perlu merenung dan berfikir sebelum sampai pada kesimpulan.
Banyak ungkapan al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh Sunnah dijelaskan dan dirincikan ketentuan-ketentuannya. Perintah shalat misalnya, berbentuk mujmal, lalu datanglah Sunnah Nabi dalam bentuk ucapan dan sekaligus tindakan. Demikian pula ibadah haji, sunnahlah yang menjalankan. Seperti terdapat pada sabda Nabi saw:خُذُوْا عَنِّى مَنَا سِكَكُمْ
Ambillah dariku amalan amalan haji kalian.
Soal zakat dan jual beli juga begitu, disebut secara mujmal kemudian Sunnah pula yang menguraikan secara rinci mengenai batasan dan ketentuan-ketentuan, untuk mengatur tata pergaulan antar manusia.
Demikianlah, tak pernah kita temukan satu mujmal pun kecuali dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci ketentuan-ketentuan hukumnya sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan (ibham).
Menurut kebanyakan ulama, sesudah datangnya keterangan pada mujmal yang dianggap sebagai bagian lafazh (mujaml) tersebut, maka tidak boleh lagi menerapkan ta’wil serta tidak boleh mengenakan takhsish sesudah adanya penjelas (mubayyin). Sebagian ulama berpendapat bahwa setelah diterangkan mujmal menjadi zhahir, kadang menjadi nash atau mufassar, dan adakalanya menjadi muhkam. Tidak bisa dipastikan bahwa setelah itu otumatis menjadi salah satu dari tiga macam tersebut. Bahkan ada yang menyatakan bahwa setelah adanya keterangan mujmal kadang-kadang menjadi musykil. Untuk kasus ini mereka mengajukan contoh sabda nabi perihal riba:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِاالْفِضَّةِ وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِوَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ مَثَلًا بِمِثْلِ سَوَآءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَاِذَاخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْاَشْيَاءُ فَبَيِّعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ
“jual beli atau barter antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, korma dengan korma dan garam dengan garam (maka masing-masing barang itu harus) sama kontan. Apabila (salah satu dari) benda-benda ini diperjual belikan dengan benda lain, maka juallah dengan cara bagaimanapun yang kamu suka”
Hadis ini mereka pandang sebagai penjelasan dan rincian terhadap kata riba yang terdapat dalam firman Allah:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لَايَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِى يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit jiwa” (Q.S. al-Baqarah:275)
Dan bagi mereka, kata riba yang mujmal ini sesudah itu menjadi musykil yang perlu diteliti dan dikenali lebih jauh. Sebabnya, meski telah dijelaskan, toh lafazh itu masih meliputi benda-benda lain yang serupa dengan benda-benda seperti tersebut pada hadis diatas.
Sebenarnya, nash al-Quran dalam masalah riba bukanlah mujmal. Walaupun terdapat kesamaran didalamnya, tapi telah diterangkan oleh sabda Nabi dalam khutbah Wada’ :
وان ربا الجا هلية موضوع واول ربا ابتدأبه ربا عمى العباس بن عبد المطلبالا
“ingatlah bahwa riba (yang berlaku dimasa) jahiliyah adalah maudhu’ (dibikin-bikin, jadi batal). Dan riba yang pertama kali disinggung oleh Allah (dalam al-Quran) adalah riba pamanku, al-Abbas ibn Abdul muththalib.”
Jadi, riba yang dimaksud didalam al-Quran adalah riba hutang piutang, yakni riba dimana tempo pembayaran hutang dihitung (dinilai) dengan tambahan hutang (bunga). Itulah sebabnya, diakhir ayat riba, Allah berfirman, “jika kamu bertobat maka bagimulah modal hartamu. (Artinya), ambil kembali modal harta yang kamu hutangkan saja, dan janganlah minta bunganya. Itulah cara bertobat dari praktek riba. (Q.S. al-Baqarah). Kalian tidak berbuat zhalim, dan kalian tidak dizhalimi.”
Riba macam ini dinamakan riba nasi’ah (riba tempo). Dan menurut Ibnu Abbas, hanya riba macam inilah yang haram, tidak yang lain.
Adapun riba yang kedua seperti disebut dalam hadis diatas adalah “riba jual beli”—sebutan yang biasa dipakai para ulama. Karena itu mereka biasa meletakkan pembahasan tentang riba ini dalam bab jual beli. Maksud dari penempatan tersebut ialah menjadikan enam benda itu berikut komoditas-komoditas lain yang serupa dengannya—berikut perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai batasan apa saja yang serupa—bukanlah obyek perdagangan kecuali pada lingkup tertentu yang sangat terbatas. Pasalnya, sebagian dari yang keenam komoditas yang diperdagangkan sebab keduanyaadalah alat penilai harga dan alat penimbang barang. Sedang untuk sebagian yang lain, andaikan untuk orang yang diperbolehkan memperdagangkannya secara bebas, tanpa ikatan dan syarat, niscaya lahirlah monopoli dikalangan para produsennya belaka, dan terhalanglah segolongan manusia lainnya.
Ulama sepekat bahwa apabila sudah ada penjelasan (bayan), lafazh mujaml tidak lagi dikatagorekan sebagai mubham sebab dengan adanya dukungan dari penjelasan (bayan) itu berarti ia keluar dari lingkup ibham (kekaburan). Hanya saja, kadang terjadi, sementara ulama yang mengadakan pembahsan tidak mengetahui adanya penjelas (mubayyin) itu sehingga kekaburan itu tetap ada dalam pandangan mereka. Kendati demikian, pada dirinya, lafazh tersebut tidak bisa dibilang kabur: kekaburan telah sirna dengan adanya penjelasan.
Pada mujaml ini juga terdapat dalam undang-undang Hukum positif. Wakaf itu terdapat dalam fasal 16 peraturan pemerintah tentang masalah hukum Keluarga. Juga syari’ menginginkan supaya hukum ini dikumpulkan, bukan dipisah-pisah, bertahun tahun lamanya masih terasa pengaruh pertikaian bentuk-bentuk yang bersangkut dengan hokum di Mesir. Sampai-sampai syari’. Mesir ikut campur memecahkan masalah ini. Pada alinia kedua, fasal 28 Peraturan Pemerintah mengatur masalah hukum bagi pengadilan. Keputusan pengadilan pada tahun 1927 berbunyi,- demikianlah, tidak dikhususkan oleh pengadilan mempercampurkan dengan pertengkaran yang bersangkut langsung, atau dengan perantara wakaf, atau dengan mensahkannya, atau dengan menafsirkannya, atau melaksanakn sebagian syarat-syaratnya, atau dengan menerangakan pendapat mereka itu[4].
3. SEBAB-SEBAB MUJMAL
Berlakunya al-Ijmāl melalui salah satu daripada tiga perkara iaitu :
a. الإشتراك مع عدم القرينة - Al-ishtirāk dan tiada qarinah ( Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali 2001 : 352 ). Tidak dapat ditarjiḥkan salah satu daripada makna lafaz al-musytarak tersebut disebabkan tiada qarinah yang menjelaskan makna yang dikehendakinya. Justeru itu, ia dikira mujmal. Seperti lafaz, al-mawlā bererti hamba yang dimerdekakan atau tuan yang memerdekakan hamba.
غرابة اللفظ لغة kalimah gharīb atau asing yang tidak difahami makna dikehendaki sehinggalah ada penjelasan daripada Allah. Contohnya lafaz al-Ḥāqqah dalam firman Allah.
الْحَاقَّةُ
Maksudnya : Hari Kiamat. ( Surah al-Ḥāqqah 69: 1 )
Kalimah itu tidak difahami makna maknanya melainkan setelah dijelaskan oleh Allah yaitu Hari Kiamat.
b. النقل من المعنى اللغوي إلى معنى إصطلاحي شرعي iaitu pindahan daripada makna bahasa kepada istilah syarak. Seperti lafaz: al-Ribā’. Lafaz yang dipindahkan kepada syarak daripada bahasa dan digunakan untuk makna syarak tidak sama dengan makna bahasa. Pengertian yang dikehendaki pada penggunaan syarak dijelaskan melalui al-Sunnah.
c. Al-Mujmal ialah lafaz yang tidak mungkin dapat diketahui perincian daripada lafaznya yang tersendiri, bahkan ia hanya dapat difahami melalui pentafsiran dan ijtihad. Terdapat banyak lafaz nas al-Quran mengandungi hukum taklifi yang berbentuk mujmal yang ia kemudiannya dijelaskan oleh al-Sunnah. Contohnya, berkenaan dengan perintah solat yang dibawa dalam bentuk mujmal, kemudian ia dijelaskan melalui al-Sunnah. Sebagaimana Sabda Baginda:صلوا كما رأيتموني أصلي. [4]
4. PENYEBAB SAMARNYA LAFAL MUJMAL
Dalam menjelaskan hal ini, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan bahwa ada enam hal yang merupakan penyebab samarnya suatu lafaz Mujmal yaitu sebagai berikut :
a. Lafadz itu mengandung makna yang tidak jelas atau tidak tertentu kualitasnya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 141 :و أتوا حقه يوم حصد“ dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”.
Lafadz ‘hak’ dalam ayat ini, sekalipun maknanya secara umum bisa dimengerti, namun jenis dan kualitas hak tersebut tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan dalil lain yang akan menjelaskannya.
b. Lafadz itu mengandung makna musytarak ( bersama ) antara dua makna atau lebih sesuai dengan arti etimologinya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
و المطلقات يتربصن با نفسهن ثلاثة قروء“Wanita-wanita yang ditalak itu hendaklah menahan dirinya (menunggu) tiga quru “
Lafadz ‘quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara etimologi mengandung dua makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih salah satu makna, maka harus didukung dalil lain baik dari al-Qur’an, Sunnah maupun ijtihad.
c. Masuknya huruf istitsna’ (pengecualian) yang kualitas pengecualiannya tidak jelas ke dalam suatu kalimat. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 1 :
يايها الذين أمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلى الصيد و انتم حرم ان الله يحكم ما يريد
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu “ merupakan kalimat yang mujmal yang tidak jelas maksudnya. Akan tetapi, kalimat mujmal itu langsung dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 3. Oleh sebab itu apa yang dimaksud oleh Allah SWT dengan kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu" adalah jenis binatang-binatang yang haram dimakan yang dicantumkan dalam surat al-Maidah ayat 3 tersebut.
d. Rasulullah SAW mengerjakan suatu perbuatan yang mengandung dua kemungkinan, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa yang dituju adalah salah satunya. Misalnya sebuah Hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW meng-qashar shalat dalam perjalanan ( HR. Bukhari dan Muslim). Perjalanan yang dimaksud dalam Hadits ini masih mengandung dua kemungkinan, yang jauh atau yang dekat.
Apabila penjelasan tentang jarak perjalanan tersebut tidak ada, maka lafazh "perjalanan “ (safar) tetap akan mujmal. Akan tetapi kemujmalan lafadz tersebut dijelaskan oleh sebuah Hadits riwayat Baihaqy, bahwa perjalanan yang boleh meng-qashar shalat adalah perjalanan yang jauh, yaitu yang ditempuh dua hari perjalanan . Terdapat beberapa Hadits mengenai hal ini sehingga berakibat juga pada perbedaan pendapat Ulama fiqih dalam menentukan jarak perjalanan tersebut.
e. Rasulullah SAW menetapkan hukum dalam suatu kasus, tetapi keputusan itu mengandung beberapa kemungkinan sehingga tidak dapat difahami kecuali melalui dalil lain. Misalnya Hadits Rasulullah SAW yang menyuruh seseorang yang berbuka puasa di bulan Ramadhan untuk memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Yang membuat penetapan hukum Rasulullah SAW ini menjadi mujmal adalah karena belum jelas penyebab berbuka puasanya seseorang itu sehingga dikenakan ketetapan hukum ini, apakah disebabkan jima’ siang hari Ramadhan atau disebabkan berbuka saja, baik karena jima’ atau yang lainnya. Karena itu diperlukan dalil lain yang menjelaskannya.
f. Dalam suatu kalimat terdapat dhamir (kata ganti ) yang merujuk kepada kalimat sebelumnya yang mengandung dua kemungkinan tanpa ada dalil kuat yang merujuk kepada salah satu rujukan, atau dalam suatu kalimat sebutan yang berbeda , tanpa ada dalil yang menunjukkan pada salah satu dua kemungkinan itu. Contohnya masalah dhamir dalam Hadits Rasulullah SAW :
لا يمنع احدكم جاره أن يضع خشبة في جدره
“janganlah salah seorang di antara kamu melarang tetangganya untuk menyandarkan kayunya di dinding rumahnya”
Kata “ nya “ dalam kalimat dinding rumahnya mengandung kemungkinan merujuk kepada kalimat “tetangga” atau kepada kalimat “salah seorang di antara kamu”. Tidak ada dalil dalam Hadits ini yang menunjukkan marja’ dhamir tersebut. Oleh sebab itu perlu dicarikan dalil lain yang menjelaskannya.
Maksudnya: Sembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku sembahyang ( Riwayat Malik bin Al-Huwarith) .
Pada mulanya, terdapat nas di dalam firman Allah :وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
Maksudnya : Dirikanlah solat ( al-Baqarah 2: 43 )
Perkataan وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ merupakan ayat mujmal iaitu tafsiran dari sudut cara untuk bersolat masih lagi dalam keadaan samar. Namun ia telah dijelaskan oleh al-Sunnah bahawa cara untuk bersolat hendaklah dikuti sebagaimana cara Rasulullah bersolat. Hal ini telah menjelaskan ayat mujmal[4].
5. HUKUM MUJMAL
Jumhur ulama sepakat bahawa sememangnya lafaz al-mujmal terdapat di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Berkaitan dengan hukum beramal dengannya adalah ditangguhkan sehingga ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya yang sebenar. Oleh itu, lafaz al-mujmal memerlukan penjelasan atau al-bayan agar ia dapat ditentukan apakah sebenarnya yang dimaksudkan daripada lafaz tersebut untuk dapat beramal dengannya ( Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali 2001: 354 ).[4]
C. MUBAYAN
1. PENGERTIAN MUBAYAN
Al-Bayan artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan lafadz atau susunan yang mujmal. Mubayyan ialah lafadz yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Jelasnya ialah:
البيان إخراج الشيء من حيزالإشكال إلي حيزا لتجلي
“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas.”
2. MACAM-MACAM MUBAYAN
a. Mubayyan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَة
“Barang siapa yang tidak dapat membeli binatang kurban hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu kembali;yang demikian itu sepuluh hari sempurna.” (Q.S.al-baqarah[2]: 196)
Lafadz tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firmanNya sepuluh hari yang sempurna. Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan ucapan.
b. Bayan dengan perbuatan; seperti penjelasan Nabi saw. Pada cara-cara sholat dan haji:
صلواكمارأيتمو ني أصلي
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan sholat.”(H.R. Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau mengerjakan sebagaimana beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.
c. Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan Nabi saw. Tentang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan mengangkat sepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
d. Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu hibban yang menerangkan:
كان اخرالامرين منه ص.م عدم الوضوءمما مست ا لنار
“adalah akhir dua perkara pada Nabi saw. Tidak berwudhu’ karena makan apa yang dipanaskan api,”
Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu’ lagi setiap kali selesai makan daging yang dimasak.
e. Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi saw menerangkan wajibnya ibadah haji, ada seorang yang bertanya ”Apakah setiap tahun ya Rasulullah?”Rasulullah diam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa haji tidak wajib dilakukan tiap tahun.[5]
3. KAIDAH YANG BERKAITAN DENGAN MUJMAL DAN MUBAYAN.
a. تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنِ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَيَجُوْزُ
Artinya’’Mengakhirkan penjasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan’’
يا رسول ا لله انئ امراة استحاض فلا اطهر افادع الصلا ة فقال لها ص م . لا انما ذالك
عرق و ليست بالحيضة فاذا اقبلت الحيضة فدعى الصلاة و اذا ادبرت فاغسلى عنك الدم و صلى , ( متفق عليه Contoh:Ketika Fatimah binti hubaisy bertanya kepada rasulullah:’’ya rasulullah saya ini wanita yang berpenyakit (istihadhoh) yang belum mandi.apakah saya harus sholat’’nabi menjawab:Darah itu hannya keringat biasa bukan haid.Dari hadits ini dapat dipahami darah istikhadhoh tidak mewajibkan mandi besar.
b. تَأخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الخِطَابِ يَجُوْزُ
Artinya’’Mengahirkan penjelasan pada saat diperintahkan sesuatu dibolehkan’’
Contoh:perintah tentang sholat,puasa,zakat,dan haji.Semuanya dijelaskan secara bertahap dan mendetail.Tidak langsung dijelaskan tapi penjelasannya diakhirkan.. [5]
4. MACAM-MACAM BAYAN (PENJELASAN) TERHADAP LAPADZ MUBAYYAN
macam sebagai berikut :
1. Penjelasan dengan perkataan ,
contohnya, Allah SWT menjelaskan lafaz سبعة ( tujuh ) pada surat al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah hari puasa bagi yang tidak mampu membayar dam (hadyu) pada haji Tamattu’. Dalam bahasa Arab lafaz tujuh sering ditujukan kepada arti ‘banyak’ yang bisa lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu betul-betul tujuh maka Allah SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang sempurna”.
b. Penjelasan dengan mafhum perkataan,
contohnya, firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat 23, tentang larangan mengatakan اف”ah” kepada kedua orang tua. Mafhum dari ayat tersebut adalah melarang seseorang anak menyakiti orang tuanya, seperti memukul dan lain-lain, karena mengucapkan “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul.
c. Penjelasan dengan perbuatan,
contoh. Rasulullah SAW menjelaskan perintah mendirikan shalat, dalam ayat al-Quran, lalu Rasulullah SAW mencontohkan cara melakukan shalat tersebut.
d. Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan”
contohnya, Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka’at sesudah shalat Subuh, maka Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis menjawab dua raka’at itu adalah shalat sunat fajar. Rasulullah tidak melarang. Ini menunjukkan dibolehkan shalat sunat sesudah shalat Subuh.
e. Penjelasan dengan Isyarat,
contohnya penjelasan Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam satu bulan. Beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksdunya bahwa bulan itu kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29 hari.
f. Penjelasan dengan tulisan,
contohnya Rasulullah SAW menyuruh juru tulis beliau menuliskan hukum-hukum mengenai pembagian harta warisan dan lain-lain.
g. Penjelasan dengan qiyas,
contohnya Rasulullah SAW menjawab seorang penanya melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal. Rasullullah bertanya, ‘bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu bisa membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua dengan membayar hutangnya.
Apabila terdapat perkataan mujmal baik dalam qur’an maupun hadits, maka kita tidak menggunakannya, sehingga dating penjelasan. Seperti kata salat, zakat, haji, dan lain-lain yang dijelaskan oleh Nabi SAW. Tentang cara-cara melakukannya. Demikian pula tentang batas-batas harta yang terkena zakat[6].
5. Hikmah menggunakan mujmal
Mujmal adalah salah satu bagian dari mutasha}bi>h. lafad mujmal memiliki beberapa faidah yang sangat besar manfaatnya diantaranya ialah:
1. Mengandung hikmah yaitu menguji, merangsang akal untuk berpikir bagi setiap orang yang memikirkanya
2. Memperoleh derajat ilmu serta mendapat kemuliaanya
3. Memperlihatkan kadar jerih payah dalam mencari kebenaran
4. Menambah ketenangan hati (iman) karena akan mengetahui bahwa al-quran benar-benar berasal dari Allah SWT.[6]
BAB III KESIMPULAN
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
Mujmal Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
Al-Bayan artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan lafadz atau susunan yang mujmal. Mubayyan ialah lafadz yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Jelasnya ialah:
البيان إخراج الشيء من حيزالإشكال إلي حيزا لتجلي
“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas.”
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://aningrahayu.blogspot.co.id/2015/05/am-khas_25.html
[2] http://jhodymrazbraine.blogspot.co.id/2015/05/mengenal-kaidah-al-am-dan-kaidah-al-khas.html
[3] https://masarief77.blogspot.co.id/2016/03/am-khas-dan-takhsis.html
[4] http://mediainstanbelajar.blogspot.co.id/2017/03/pengertian-mujmal-sebab-mujmal-penyebab.html
[5] http://madin.ppwahidhasyim.com/2015/04/mujmal-dan-mubayyan.html
[6] http://mas-pujiono.blogspot.co.id/2014/03/kaidah-tentang-mujmal-dan.html
Post a Comment
0 Comments