BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengambilan hukum fiqih (istinbath hukm) dari al Qur’an dan hadis yang dilakukan oleh ulama mujtahid berdasarkan atas 2 kaidah yaitu kaidah fiqhiyah dan ushuliyah.
Kaidah merupakan pedoman. Kaidah ushuliyah berarti kaidah atau aturan untuk memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan pengambilan hukum yang diperoleh dengan mempelajari bahasa yang terkandung dalam dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan pengambilan hukum yang dikaitkan dengan fakta atau substansinya.
Penggunaan suatu lafadh yang menjadi obyek dalam kajian kaidah usul fiqih banyak macamnya, antara lain; perintah, larangan, khas,‘am, mujmal, mubayyan, murodif dan mustarok dll. Semua itu dibutuhkan untuk memahami ketentuan suatu lafadh yang ada dalam al-Qur’an sehingga dengan demikian dapat menentukan hukum fiqihnya. Karena di dalam bahasa Arab penggunaan lafadh berimplikasi terhadap hukum. Pada makalah ini, kami kelompok 3 akan menjelaskan kaidah usul fiqih Muradif, musytarak, dan mutlaq muqayyad.
B. RUMUSAN MASALAH
1. apa yang di makusud dengan Muradif ?;
2. apa yang di maksud dengan musytarak ? dan ;
3. apa yang di maksud dengan Muthlaq Muqayyad?.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa yang di makusud dengan Muradif;
2. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan musytarak dan;
3. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Muthlaq Muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MURADIF
1. PENGERTIAN MURADIF
Muradif ialah beberapa lafadh yang menunjukkan satu arti. Dalam bahasa Indonesia disebut sinonim. Contoh :الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)
2.
KAIDAH MURADIF
“Mendudukkan masing-masing dua muradif pada tempat yang sama itu diperbolehkan
jika tidak ditetapkan oleh syara”.
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al Qur’an, karena ia tidak boleh diubah.
Bagi madzhab malikiah, takbir salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam Syafi’i membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al- Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
B. MUSYTARAK
1. PENGERTIAN MUSYTARAK
Musytarak ialah satu lafadh yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah antara lain:
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya.
Seperti kata عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang emata-matai dan emas, kata يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kekuasaan kata سنة dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
2.
KAIDAH MUSYTARAK
“Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Jadi, kita bebas menetapkan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS Al Hajj (22) : 26,
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orangorang yang rukuk dan sujud’.”
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapatmbahwa pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh,dengan alasan Firman Allah SWT., QS Al Hajj (22) : 18
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (QS Al-Haj : 18)
Lafadh سْجُد itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan كَثِيٌْ مِنَ الناَسِ .
Oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah SWT: اوْ لَمَسْتُمُ النّسَِاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama. Maka seorang suami yang menyentuh istrinya batal wudlunya. Demikian juga jika bersetubuh, maka batal pula wudhunya.
3. SEBAB-SEBAB TERJADINYA LAFADH MUSYTARAK
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan ( الساعدوالكف ). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
b. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ( تردد ) antara makna hakiki dan majaz.
c. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ( تردد ) antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadh الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita maklumi.
4. KETENTUAN HUKUM LAFADH MUSYTARAK
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah (suatu kata yang menyertai nash) maupun qarinah haliyah (keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut).
c.
Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
Contoh Lafadh Musytarak Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam QS. Al Baqarah (2): 222,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orangorang yang mensucikan diri.”
Lafadh المَحِيضِِِِ dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istriistrinya dalam waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadh المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al Baqarah (2): 228 sebagai berikut:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’’.
Lafadh quru’ dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadh quru’tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masingmasing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadh quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Dalam QS. Al Baqarah (2): 229,
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadh al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”.
Seperti dalam hal lain.“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadh الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu.
Berikut ini contoh lafad الصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam QS. Al Ahzab (33): 56,
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Lafadh الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna shalat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan shalat dalam istilah syara’hanya diwajibkan kepada manusia.
C. MUTHLAQ MUQAYYAD
1. PENGERTIAN MUTHLAQ
Muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS. Al Mujadalah (58) : 3,
“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”
Lafadh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
2. PENGERTIAN MUQAYYAD
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS. An Nisa’ (4): 92 :
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali
karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman.”
Lafazh “budak” di atas dibatasi dengan “yang beriman”.
3. MACAM-MACAM MUTHLAQ DAN MUQAYYAD BESERTA HUKUMNYA
a.
Lafadh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang mengqayyidkannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya. Contohnya, pada QS. An Nisa’ (4) : 11,
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga darimharta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
“(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.” Wasiat yang dimaksud dalam ayat diatas bersifat muthlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberimbatasan oleh nash hadis yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak muthlaq lagi dan pasti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
b.
Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh muthlaq dibawa ke kepada makna muqayyad. Contohnya pada QS. Al Maidah (5): 3,
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah muthlaq tanpa ada batasan.
Pada QS. Al An’am (6) : 145,
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.” Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al Maidah (5): 3 yang muthlaq wajib dibawa (diartikan) ke muqayyad, yaitu “darah yang mengalir.” Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafadh yang mutlaq tetapdiartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
BAB III
KESIMPULAN
A. MURADIF
Muradif ialah beberapa lafadh yang menunjukkan satu arti. Dalam bahasa Indonesia disebut sinonim.
“Mendudukkan masing-masing dua muradif pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara”.
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al Qur’an, karena ia tidak boleh diubah.
B. MUSYTARAK
Musytarak ialah satu lafadh yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya.
Kaidah musytarak yaitu “Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.” kita bebas menetapkan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan.
Penyebab terjadinya lafadh musytarak adalah :
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna.
b. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ( تردد ) antara makna hakiki dan majaz.
c. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ( تردد ) antara makna hakiki dan makna istilah urf.
Ketentuan hukum lafadh musytarak yaitu:
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah (suatu kata yang menyertai nash) maupun qarinah haliyah (keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut).
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya
C. MUTHLAQ MUQAYYAD
Muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid).
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid).
Macam-macamnya yaitu:
a. Lafadh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang mengqayyidkannya (membatasinya).
b. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh muthlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI, 2016. Fikih Kelas XII, Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia
klik tombol download dibawah unutk men-download file docx (microsoft word siap print) makalah ini
Post a Comment
0 Comments