BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengambilan hukum fiqih (istinbath hukm) dari al Qur’an dan hadis yang dilakukan oleh ulama mujtahid berdasarkan atas 2 kaidah yaitu kaidah fiqhiyah dan ushuliyah. Kaidah merupakan pedoman. Kaidah ushuliyah berarti kaidah atau aturan untuk memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan pengambilan hukum yang diperoleh dengan mempelajari bahasa yang terkandung dalam dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan pengambilan hukum yang dikaitkan dengan fakta atau substansinya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dengan dhahir?;
2. Apa yang di maksud dengan ta’wil?;
3. Apa yang di maksud dengan manthuk? Dan;
4. Apa yang di maksud dengan mahfum.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mencari tahu tentang dhahir;
2. Untuk mencari tahu tentang ta’wil;
3. Untuk mencari tahu tentang manthuk Dan;
4. Untuk mencari tahu tentang mahfum.
BAB II PEMBAHASAN
A. DHAHIR DAN TA’WIL
1. DHAHIR
Dhahir secara bahasa : Yang terang ( Ø§Ù„ÙˆØ§Ø¶Ø ) dan yang jelas (البين).
Dalam pengertian istilah, dhahir adalah lafadh yang memiliki kemungkinan dua makna, salah satunya lebih jelas dari makna yang lain. Atau dalam ungkapan lain dhahir adalah lafadh yang menunjukkan atas makna dengan dilalah dhanni; yakni dimenangkan makna tersebut dan mengalahkan dalam makna yang lain. Sehingga maknanya lafadh tersebut segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih ada kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Dilalah dhanni adalah penunjukan makna dengan dugaan kuat, yang mencakup dilalah lughawiyah, ‘urfiyah, dan dilalah syar’iyyah. Contoh:
Jadi lafadh الأسد dengan makan “ jenis tertentu dari binatang buas” disebut dhahir, karena makna yang diunggulkan.
Misalnya sabda Nabi, SAW. : توضؤوا من Ù„Øوم الإبل “Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!”. Maka sesungguhnya yang zahir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah membasuh anggota badan yang empat dengan sifat yang syar’i bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.
2. TAWIL
Jika pemahaman suatu lafadh dengan makna dhahirnya menimbulkan kejanggalan, maka lafadh yang semula makna dhahir tersebut harus dita’wil dengan menggunakan
dalil. Selanjutnya digunakan/ diarahkan kepada makna marjuhnya ( makna yang tidak
diuggulkan). Dengan demikian lafadh yang semula dhahir menjadi mu’awwal (yang
ditakwil). Muawwal juga disebut dhahir bid dalil.
Contoh firman Allah: والسماء بنيناها بأيد artinya : dan langit kami bangun dengan “ kekuasaan “. Lafadh أيد adalah jama’ dari lafadh يد artinya tangan. Sedangkn mengarahkan pada makna tangan sebagaimana tubuh manusia adalah mustahil bagi Allah. Karena Allah berifat mukhalafatu lil hawadits/ beerbeda dengan mahluk. Sebagaiman kita fahami dari akal. Maka kita alihkan maknanya menjadi “ keuatan”.
Dari uraian ini dapat disimpuan bahwa muawwal adalah lafadh yang menunjukkan
atas makna dengan menunjukkan makna yang marjuh ( diungguli). Sedangkan ta’wil
adalah mengarahkan makna yang dhahir kepada makna yang marjuh.
B. MANTHUQ DAN MAHFUM
1. MANTHUQ
a. pengertian manthuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
b. pembagian manthuq
1) Nash, ialah lafadh yang bentuknya sendiri telah jelas maknanya. Contohnya pada QS. Al Baqarah (2) : 196,
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali, itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan
“Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2) Zahir, ialah lafadh yang maknanya segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih ada kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2) : 222,
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti dari haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3) Mu’awwal adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat.
4) Dalalah iqtida/ Iqtida’i al Nass’ adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna yang tepat tapi bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS. An Nisa (4): 23,
“ diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
5) Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna yang tepat berdasarkan isyarat lafadh. Contohnya pada QS Al Baqarah (2): 187,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istriistri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian memaksa kita, pagi dalam keadaan junub.
2. MAFHUM
a. pengertian mahfum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazdh tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
b. pembagian mahfum
1) Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan) yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan manthuq.
a) Fahwal khitab yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih emungkinkan diambil hukumnya daripada mantuq. Misalnya pada QS. al Isra (17): 23,
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”
Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.
b) Lahnul Khitab yaitu bila mafhum dan hukum mantuq sama nilainya. Misalnya pada QS. An Nisa (4): 10,
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
2) Mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik) yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari manthuq
a) Mafhum sifat adalah sifat ma’nawi. Contohnya pada QS. Al Hujurat (49): 6,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “
Ayat ini memerintahkan memeriksa dengan meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa dan diteliti.
b) Mafhum syarat yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS. At Talaq (65) 6 :
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah…..”
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) maka jika di talak dalam keadaan tidak hamil tidak perlu diberi nafkah.
c) Mafhum ghayah.Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2): 230,
“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “
Dengan pemahaman terbalik bila mantan istri sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dinikahi lagi.
d) Mafhum hasr (pembatasan).Misalnya pada QS Al Fatihah 5:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah kepada selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
BAB III KESIMPULAN
Dhahir secara bahasa : Yang terang ( Ø§Ù„ÙˆØ§Ø¶Ø ) dan yang jelas (البين). Dalam pengertian istilah, dhahir adalah lafadh yang memiliki kemungkinan dua makna, salah satunya lebih jelas dari makna yang lain.
Jika pemahaman suatu lafadh dengan makna dhahirnya menimbulkan kejanggalan, maka lafadh yang semula makna dhahir tersebut harus dita’wil dengan menggunakan dalil. Selanjutnya digunakan/ diarahkan kepada makna marjuhnya ( makna yang tidak diuggulkan). Dengan demikian lafadh yang semula dhahir menjadi mu’awwal (yang ditakwil). Muawwal juga disebut dhahir bid dalil.
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain. Terbagi dalam: Nash, Zahir, mu’awwal, dalalah iqtida, dan dalalah isyarah.
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazdh tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat. Terbagi kedalam:
Mahfum muwafaqoh, terdiri dari Fatwal khitab, dan lahnul khitab.
Mahfum mukhakafah terdiri dari: mafhum sifat, mahfum syarat mahfum ghayah, dan mahfum hasr.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI, 2016. Fikih Kelas XII, Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia
klik tombol download dibawah unutk men-download file docx (microsoft word siap print) makalah ini
Post a Comment
0 Comments