BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Syariat Islam bersumber dari nash-nash berbahasa arab yang berbentuk Al Qur’an dan Al Hadits. Dalam setiap lafadz Al Qur’an dan Al Hadits mempunyai makna musytarak, muradif ataupun mafhum. Makna musytarak, muradif ataupun mafhum mempunyai kegunaan untuk membatasi objek hukum.
Hal itu dikarenakan Islam memiliki syariat atau hukum yang mengatur segala sendi-sendi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam masalah hubungan dengan tuhan.
Memahami musytarak, ‘muradif ataupun mafhum sangatlah penting supaya pemahaman manusia tentang makna dari nash-nash itu sesuai dengan maksud yang dituju oleh Allah dalam nash tersebut. Karena jika suatu lafadz tidak diketahui musytarak, muradif ataupun mafhum -nya maka lafadz itu belum jelas maksudnya karena maknanya tidak terbatas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Musytarak?;
2. Apa itu Muradif? dan;
3. Apa itu Mafhum?;
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa itu Musytarak;
2. Utnuk mengetahui apa itu Muradif dan;
3. Untuk mengetahui apa itu Mafhum.
BAB II PEMBAHASAN
A. MUSYARAK
1. PENGERTIAN MUSYARAK
Musytarak yaitu lafal yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah diartikan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan tangan kanan dan kiri.
Lafal yang Musytarak adalah lafal yang dibuat untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang bermacam-macam yang dapat menunjukan kepada maknanya secara bergantian, artinya dapat menunjukan arti ini atau itu. Seperti lafal al ‘ain yang secara bahasa dapat berarti mata untuk melihat, mata air, dan mata-mata, lafal al qur-u yang secara bahasa dibuat untuk makna suci dan haid, lafal as sanah yang berarti tahun Hijriyah dan Miladiyah (masehi), lafal al yad yang artinya tangan kiri dan kanan.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah antara lain:
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”.
2. KAIDAH MUSYTARAK
“Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS Al Hajj (22) : 26,
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orangorang yang rukuk dan sujud’.”
3. SEBAB-SEBAB TERJADINYA LAFADH MUSYARAK
Salah satu sebab yang paling penting dari lafal musytarak adalah karena adanya perbedaan suku dan kabilah dalam menggunakan satu lafal untuk makna yang berbeda-beda. Oleh sebab itu para ahli bahasa menetapkan lafal dengan cara memberi makna hakiki (makna dasar) dan majazi (makna kiasan).
Di dalam nash syara’ terdapat beberapa lafal musytarak. Apabila lafal musytarak itu terjadi antara arti secara bahasa dan istilah syara’, maka yang harus digunakan adalah makna syara’. Dan jika musytarak itu terjadi antara dua makna bahasa atau lebih, maka yang harus digunakan adalah makna salah satunya dengan ijtihad dan mencari suatu petunjuk yang dapat menentukanya, tidak boleh menggunakan kedua atau semua makna musytarak tersebut secara bersamaaan.
4. BENTUK-BENTUK LAFALDH MUSYARAK
• Berupa kalimat isim (kata benda)
• Berupa kalimat fi’il (kata kerja)
• Berupa kalimat huruf (kata sambung)
5. CONTOH LAFADH MUSYTARAK
Contoh lafadh musytarak yang sering kita jumpai dalam surah al-Baqarah : 288 adalah sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa Arab bias berarti suci dan bias pula berarti masa haidh.Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui arti yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadhquru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.
6. KETENTUAN LAFADH MUSYARAK
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah (suatu kata yang menyertai nash) maupun qarinah haliyah (keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut).
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
7. DALALAH LAFADH MUSYTARAK
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar dan Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki, atau berbagai makna.Kaidahnya :
استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه يجوز
“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”
Alas an mereka berdasarkan pada surah al-Hajj : 18 sebagaimana berikut :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”
Lafadh yasjudu bisa diartikan menempelkan dahi ke bumi, bias diartikan tunduk. Dan seperti pada surah al-Ahzab : 56 sebagaimana berikut :
إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Arti lafadh yushalluuna bila datang dari Allah berarti memberikan rahmat, bila dating dari malaikat berarti memintakan ampunan (istighfar) dan bila dari manusia biasa berarti do’a
Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak diperbolehkan.
B. MURADIF
1. PENGERTIAN
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para Jumhur ulama sebagai beriku:
ايقاع كل من المرادفين مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي
Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.
Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat sempurna, Dia-lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-nya juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui delegasi terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
2. HUKUM MURADIF
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.
3. CONOTH MURADIF
Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut :
a. Al-khauf dan khasyah artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“dan orangg-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya untuk Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf berfaedah melemahkan atau dha’if.
b. Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi ilmihi.
c. Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :
سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا كَذَلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِنْ قَبْلُ فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا
“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”
d. As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :
وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”
C. MAFHUM
1. PENGERTIAN MAFHUM
mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut.
2. PEMBAGIAN MAFHUM
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23).
b. Yang mana hukum haram “memukul” merupakan mafhum dari dalil haramnya “membentak”.
Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a. Fahwal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti “memukul” orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya “membentak” orang tua. Bahkan “memukul” dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik.
b. Lahnal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh “membakar” harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا[النساء: 10]
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (Q.S. An-Nisa: 10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram “membakar” harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara “memakan” yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan “membakar” yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”. (Al-Jum’ah: 9)
Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum’at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum’at atau sesudah dilakukanya shalat jum’ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.
Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah
Karena mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:
1. Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin¬an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena “takut muskin”. Mafhum mukhalafah-nya berarti “membunuh anak tidak karena takut miskin”. Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu; وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33] “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran”.(QS. Isra’:33)”
Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Berdasarkan ayat di atas secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah)seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu “tidak boleh memukul”.
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh; وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)
“Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri”. (QS. An-Nisa’:23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa “anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi”. Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan “yang kamu pelihara” hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti “muslim” lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu “diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim”. Sebab perkataan “muslimun” hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4. Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
BAB III KESIMPULAN
Musytarak yaitu lafal yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam,
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
c. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23).
d. Yang mana hukum haram “memukul” merupakan mafhum dari dalil haramnya “membentak”.
DAFATAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI, 2016. Fikih Kelas XII, Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia
https://makalahkomplit.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-musytarak.html
http://blogpendidikanindonesia31.blogspot.co.id/2016/11/makalah-muradif-dan-musytarak.html
http://saidpane.blogspot.co.id/2011/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html
https://ozekage.wordpress.com/makalah-ushul-fiqh-mantuk-wa-mafhum/
klik tombol download dibawah unutk men-download file docx (microsoft word siap print) makalah ini
Post a Comment
0 Comments