ips xii
makalah sejarah candi borobudur, museum yogyakarta, dan keraton yogyakarta
by
A. Taufik
January 02, 2018
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
candi borobudur merupakan warisan budaya indonesia yang sudah terkenal sampai ke seluruh dunia bangunan ini merupakan candi budha terbesar didunia dan ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO.bentuknya yang megah dan detail arsitekturnya yang unik membuat semua orang ingin mengunjungi borobudur yang penasaran dengan ceritanya,borobudur mencuri perhatian dunia sejak HC cornelius menemukan lokasinya atas perintah Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814.pekerjaan menggali lokasi yang diduga monumen besar kemudian dilanjutkan oleh hotman salah satu pejabat pemerintah belanda yang saat itu para arkeolog berlomba lomba mencari tahu asal usul candi budha terbesar didunia ini
Musuem Perjuangan Yogyakarta (Musium Perjuwangan Ngayogyakarta) adalah museum yang memiliki koleksi mengenai perjuangan bangsa Indonesia. Terletak kurang lebih 2 km dari pusat kota Yogyakarta.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta (Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat) merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah candi borobudur ?
2. Bagaimana sejarah museum perjuangan yogyakarta?
3. Bagaimana sejarah keraton yogyakarta?
C. TUJUAN PENULISAN
1. untuk mengetahui sejarah candi borobudur.
2. Untuk mengetahui sejarah museum perjuangan yogyakarta.
3. Untuk mengetahui sejarah keraton yogyakarta.
BAB II PEMBAHASAN
A. CANDI BOROBUDUR
candi borobudur diyakini merupakan peninggalan kerajaan Dinasti Sailendra masa pemerintahan raja Samaratungga dari Kerajaan Mataram Kuno dan selesai dibangun pada abad ke-8.banyak sekali misteri candi borobudur yang belum terkuak ,apa sebenarnya nama asli candi borobudur tidak ada prasasti atau buku yang menjelaskan dengan pasti tentang pembanguan borobudur,ada yang mengatakan nama tersebut berasal dari nama samara budhara memiliki arti gunung yang lerengnya terletak teras teras ada juga yang mengatakan borobudur berasal dari ucapan para budha yang mengalami pergeseran satu satu nya tulisan yang menyebutkan borobudur pertama kali adalah thomas Sir Thomas Stamford Rafflesdalam bukunya yang berjudul sejarah pulau jawa .para ahli sejarah memperkirakan Sir Thomas Stamford Raffles menyebut borobudur dari kata bore dan budur ,bore artinya ialah desa sebuah desa yang terletak di dekat lokasi letak candi borobudur ditemukan sedangkan budur artinya purba
sejarah berdirinya candi borobudur diperkirakan dibangun pada tahun 750 masehi oleh kerajaan syailendra yang pada waktu itu menganut agama budha,pembangunan itu sangat misterius karena manusia pada abad ke 7 belum mengenal perhitungan arsitektur yang tinggi tetapi borobudur dibangun perhitungan arsitektur yang canggih ,hingga kini tidak satu pun yang dapat menjelaskan bagaimana cara pembangunan dan sejarah candi borobudur ini
Sudah banyak ilmuan dari seluruh penjuru dunia yang datang namun tidak satu pun yang berhasil mengungkapkan misteri pembangunan borobudur. Salah satu pertayaan yang membuat para peneliti penasaran adalah dari mana asal batu-batu besar yang ada di candi borobudur dan bagai mana menyusunnya dengan presisi dan arsitektur yang sangat rapih. Ada yang memperkirakan batu itu berasal dari gunung merapi namun bagaimana membawanya dari gunung merapi menuju lokasi candi mengingat lokasinya berada di atas bukit.
Candi borobudur memiliki 72 stupa yang berbentuk lonceng ajaib, Stupa terbesar terletak di puncak candi sementara yang lain mengelilingi stufa hingga kebawah. Ketika ilmuan menggambar denah candi borobudur, mereka menemukan pola-pola aneh yang mengarah pada fungsi borobudur sebagai jam matahari, jarum jamnya berupa bayangan stupa yang besar dan jatuh tepat di stupa lantai bawah namun belum di ketahui secara pasti bagaimana pembagian waktu yang di lakukan dengan menggunakan candi borobudur ada yang mengatakan jam pada candi borobudurmenunjukan tanda kapan masa bercocok tanam atau masa panen.
B. MUSEUM PERJUANGAN YOGYAKARTA
Dalam rangka peringatan setengah abad kebangkitan nasional, di Yogyakarta pada tahun 1958 telah dibentuk sebuah panitia yang diberi nama "Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta". Panitia tersebut diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan beranggotakan kepala-kepala jawatan, wakil-wakil dari kalangan militer dan polisi, pemimpin-pemimpin partai dan organisasi dari segala aliran dan keyakinan yang tergabung dalam Panitia Persatuan Nasional (PPN), kaum cerdik cendekiawan dan karya.
Pada tanggal 20 Mei 1958, di halaman Gedung Agung, Yogyakarta diadakan upacara peringatan setengah abad kebangkitan nasional. Selain itu juga dilakukan rangkaian kegiatan antara lain kerja bakti, gerakan menambah hasil bumi, mengumpulkan bingkisan untuk dikirim kepada kesatuan-kesatuan yang sedang berjuang menumpas pemberontakan, serta mengadakan ziarah ke makam para pahlawan nasional. Meski demikian, panitia merasa ada sesuatu yang kurang. Oleh karena itulah muncul gagasan Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku ketua Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengadakan suatu peninggalan kepada generasi mendatang.
Seusai upacara tanggal 20 Mei 1958, diadakan rapat panitia. Rapat berhasil membentuk Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional yang anggotanya terdiri dari anggota Dewan Pimpinan Panitia Peringatan Setengah Abad Kebangkitan Nasional Yogyakarta. Sebagai tempat berdirinya monumen Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberikan sebagian halaman Dalem Brontokusuman.
Selanjutnya untuk membahas apa dan bagaimana monumen itu kelak, panitia monumen setengah abad kebangkitan nasional membentuk panitia khusus. Karena jumlah anggota dari panitia ini berjumlah sembilan orang, maka sering disebut dengan Panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Mei 1958 panitia khusus mengadakan rapat di gedung Japendi (Jawatan Penerangan). Rapat membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepanitiaan, arti penting monumen, letak monumen, bentuk monumen, sumber dana, dan rencana kerja. Pada tanggal 7 Juli 1958, dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX panitia monumen setengah abad kebangkitan nasional menyetujui apa yang telah direncanakan dan dikerjakan oleh panitia khusus. Untuk merealisasikaimya, maka dalam rapat tersebut dibentuk dua panitia kecil.
Rapat juga menunjuk Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo untuk menghubungi pengurus/panitia yang dulu pernah dibentuk untuk mengambil alih pekerjaan mereka dan diminta supaya menunjuk sekarang wakilnya untuk duduk dalam Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional.
Perlu disampaikan bahwa di Yogyakarta sejak tanggal 2 Desember 1952 telah dibentuk panitia sementara yang bermaksud merencanakan berdirinya sebuah museum perjuangan yang akan digunakan untuk menyimpan dan memelihara benda-benda yang dipergunakan oleh rakyat Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan.
Selanjutnya Panitia Sementara Museum Perjuangan menyerahkan barang-barang yang berhasil dikumpulkannya, antara lain berupa :
1. Barang-barang berupa pakaian dan lain-lain yang dipakai oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman ketika bergerilya.
2. Tas yang dipergunakan Drs. Mohammad Hatta ketika perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
3. Barang-barang berupa senapan, juga pedang dari Aceh
4. Uang dengan jumlah beberapa ratus rupiah
5. Uang yang dijanjikan oleh Presiden Soekarno sebanyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) dengan catatan supaya panitia monumen berhubungan langsung dengan dia
Sejak saat itu kata Museum Perjuangan mulai digunakan lagi, dan menggeser kepopuleran kata Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional. Berita-berita yang muncul di koran-koran juga mendorong perubahan penyebutan dari Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional menjadi Museum Perjuangan.
Karena itulah, pada tanggal 14 Mei 1959 Museum Pusat TNI AD menghubungi Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional di Yogyakarta dengan mengutus Kapten Kamari Sampurno untuk mengadakan pembicaraan dengan Soetardjo selaku Sekretaris Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional di Yogyakarta.
Dalam rapat pleno keempat tanggal 19 Juni 1959, ketua panitia teknik Prof. Ir. Soewandi memberikan penjelasan tentang rencana dan bentuk bangunan. Ide bentuk bangunan muncul dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Museum akan berbentuk bulat, sedang ornamen-ornamen akan diambilkan dari macam-macam candi.
Terkait dengan masalah permohonan dana ke pemerintah pusat, ditunjuk Soetardjo (Kepala Djapendi Yogyakarta) selaku Sekretaris Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional. Hasilnya pemerintah RI sanggup memberikan dana Rp 8.000.000, serta menyanggupkan diri hadir dalam peringatan 10 tahun Yogya Kembali.
Pada tanggal 29 Juni 1959 di Gedung Negara Yogyakarta (Gedung Agung) diadakan peringatan 10 tahun Yogya Kembali yang dihadiri oleh tokoh-tokoh selama Agresi Militer Belanda II. Sebagai wakil pemerintah pusat hadir Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi yang mewakili Perdana Menteri Ir. Djuanda yang waktu itu sedang berada di luar negeri. Berkenan memberikan sambutan dalam acara tersebut antara lain Kepala Daerah dan Ketua DPRD Siswosoemarto dan Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi. Dalam sambutannya, Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, mewakili pemerintah menyatakan persetujuannya terhadap pendirian Museum Perjuangan di Yogyakarta.
Pada tanggal 1 Juli 1959 bertempat di Gedung Wilis, Kepatihan, Yogyakarta, diadakan rapat pleno yang kelima. Rapat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Dalam rapat tersebut berhasil dibentuk seksi-seksi beserta anggota.
Laporan pelaksanaan tugas seksi-seksi tersebut disampaikan dalam rapat pleno tanggai 26 Juli 1959. Dengan mempertimbangkan masukan dan laporan-laporan dari tiap seksi maka ditetapkan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1959 dilakukan pemasanan patok pertama kali. Upacara pemasangan patok pertama dilakukan halaman ndalem Brontokusuman Yogyakarta. Upacara ini berlangsung tepat 12.00 WIB usai upacara resmi di Gedung Negara Yogyakarta (Gedung Agung) selesai. Hadir dalam acara tersebut antara lain para pembesar sipil maupun militer beserta tamu undangan. Karena Sri Sultan Hamengkubuwana IX sedang menjalani tugasnya di tempat lain maka pemasangan patok pertama dilaksakan oleh Sri Paku Alam VIII. Dengan demikian sudah dapat dipastikan tanda dimana gedung Museum Perjuangan Yogyakarta nantinya akan dibangun.
Pada tanggal 21 Agustus 1959 diadakan rapat pleno yang ke tujuh. Rapat ini dipimpin oleh Ketua Panitia Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan bertempat di Gedung Wilis, Kepatihan, Yogyakarta. Dalam rapat tersebut Sri Sultan Hamengkubuwana IX melaporkan hasil kunjungannya selama di Jakarta, antara lain keberhasilannya menemui Perdana Menteri Ir. Djuanda dan Menteri Keamanan Nasional Letnan Jenderal A.H. Nasution.
Mengenai uang Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) dari pemerintah pusat akan diatur dalam 3 termin, yaitu:
• Termin pertama: tahun 1959 sebesar 3,5 juta.
• Termin kedua: tahun 1960 sebesar 2,5 juta.
• Termin ketiga: tahun 1961 sebesar 2 juta.
Pada tanggal 1 September 1959 diadakan pertemuan antara Seksi I (Pembangunan Gedung Museum) dengan para pemborong yang datang dari berbagai kota besar di Jawa seperti dari Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Malang dan Yogyakarta. Pertemuan tersebut diadakan di ruang Perpustakaan Djapendi. Penjelasan mengenai gambar proyek gedung museum dan cara-cara memasukkan penawaran diberikan oleh Soedarman.
Setelah melalui pemikiran, perhitungan biaya dan memasukkan penawaran, maka pada tanggal 28 September 1959 bertempat di Japendi, diadakan pertemuan pelelangan gedung Museum Perjuangan yang dihadiri oleh para pemborong yang telah memasukkan penawaran. Surat-surat penawaran dibuka, penawar tertinggi adalah E.I.C (Indonesian Engineering Corporation) dengan penawaran mendekati Rp 7.000.000. Dengan demikian I.E.C. merupakan pemenang dalam lelang pembangunan Museum Perjuangan. Surat pemberian pekerjaan dan kontrak telah diselesaikan oleh ketua direksi Soedarman (Kepala Djawatan Gedung-gedung Negeri di Yogyakarta).
Sebagai awal pembangunan gedung Museum Perjuangan, pada tanggal 5 Oktober 1959, bertepatan dengan Hari Angkatan Perang, dilakukan pencangkulan pertama. Kegiatan itu dilaksanakan setelah usai upacara peringatan hari Angkatan Perang di Makam Pahlawan Kusuma Negara Semaki, Yogyakarta. Upacara pencangkulan pertama berlangsung di ndalem Brontokusuman, dengan didahului kata pembukaan oleh sekretaris panitia Soetardjo, disusul dari direksi yang melaporkan jalannya pelelangan. Yang ketiga adalah dari pemborong yang disampaikan oleh Poegoeh (EYD : Puguh) dari I.E.C.selanjutnya pembacaan doa oleh Kyai Haji Badawi.
Akhirnya Sri Paku Alam VIII selaku Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta berkenan memberikan amanatnya. Selanjutnya para hadirin dipersilahkan menuju ke halaman muka mengelilingi patok yang teiah dipancangkan tanggal 17 Agustus 1959. Ayunan cangkul pertama dilakukan oleh Paku Alam VIII selaku Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta bersama para pembesar sipil, militer, polisi dan lain-lain. Dengan selesainya upacara pencangkulan pertama ini, pembangunan bangunan gedung museum dimulai.
Sesuai dengan laporan sekretariat dan seksi V (relief) pada sidang pleno ke sembilan tanggal 7 April 1960, Panita Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional di Yogyakarta telah membuat dua macam sayembara yaitu :
• Hiasan Puncak gedung Museum
• Kesatuan Patung Gerilya di muka Gedung Museum
Menurut rencana, sayembara ini akan ditutup tanggal 30 Juni 1960, tetapi mengingat ada beberapa kiriman naskah sayembara yang tidak sampai kepada alamat yang dituju (kembali) maka atas persetujuan rapat pleno, penutupan sayembara diundur sampai dengan tanggal 31 Juli 1960.
Pada permulaan bulan Agustus 1960, setelah diadakan pemeriksaan, ternyata terdapat 44 gambar yang memenuhi syarat. Gambar-gambar tersebut meliputi gambar hiasan puncak dan kesatuan patung gerilya. Menurut hasil pemeriksa panitia ahli selaku juri, tidak ada gambar yang memenuhi keinginan panitia, hingga tidak ada hadiah pertama yang dapat diberikan. Untuk sayembara hiasan puncak menurut penilian juri hanya ada satu yang mendekati keinginan panitia yaitu gambar yang berjudul "Purna Swaraj". Gambar inilah yang dinilai no. 2 dan dapat dipakai meski harus dengan beberpa perubahan. Sebagai penghargaan kepada penciptanya diberikan uang sebesar Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupah). Untuk gambar Kesatuan Patung Gerilya hanya dapat hadiah sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) kepada gambar yang berjudul "Mara Hanung".
Selanjutnya kepada F. A. Sutjipto, pencipta gambar hiasan puncak tersebut diminta menyempurnakan hasil kerjanya dengan petunjuk dari panitia ahli, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Katamsi sebagai panasehatnya.
Disamping kesibukan menyelesaikan pembangunan gedung museum di Brontokusuman, kesibukan yang lain adalah pembuatan relfef, hiasan puncak dengan ornamen-ornamen gedung Museum perjuangan. Relief dibuat di desa Karangwuni, yang berada di beberapa kilometer di sebelah utara kota Yogyakarta. Tepatnya di rumah Edhi Soenarso yang diserahi tugas menyelesaikan relief dan patung-patung kepala para Pahlawan Kemerdekaan. Sedangkan hiasan puncak dibuat di sebelah timur kota , Mujamuju, Umbulharjo, Yogyakarta sebelah timur kota Yogyakarta.
Mengenai Pahlawan Nasional yang dibuat patung kepala ialah yang diambil tokoh-tokoh nasional yang kepahlawannya telah disahkan oleh Pemerintah. Menurut rencana ada 11 patung kepala pahlawan nasional yang akan dibuat namun berhubung hingga saat museum akan segera dibuka panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan mengalami kesulitan untuk mencari gambar Sisingamangaraja XII, maka terpaksa baru 10 buah patung kepala yang dibuat.
Karena banyaknya materi relief dan patung yang perlu diselesaikan maka diperlukan pengerahan tenaga para pelukis, pemahat dan pematung. Pembuatan relief dan patung dipimpin oleh Edhi Soenarso dibantu oleh guru-guru ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) dan pemahat, pematung yang tergabung dalam PIM (Pelukis Indonesia Muda) antara lain Soedarso, Abdul Salam, Hendrodjasmoro, Saptoto, Soetopo dan Boediani. dan SIM (seniman Indonesia Muda).
Disamping itu masih terdapat pelaksana yang terdiri dari 20 orang pokok dan 20 orang pembantu. Adapun yang membuat rencana sket selain anggota-anggota staf sendiri, juga mendapat sumbangan pikiran dari seniman-seniman lain seperti Suromo (SIM), Handrijo (PIM), Abdul Sidik (bekas siswa ASRI), Abdul kadir, Murtihadi dan Sindusawarno (Tamansiswa). Pembuatan relief mulai dikerjakan bulan Oktober 1960 dan pada pertengahan bulan April 1961 sudah dapat dipasang di dinding gedung museum.
Hiasan puncak merupakan sebuah proyek besar dengan ukuran dasar 3 meter dan tinggi 7 meter, maka pengerjaannya tidak dapat dikerjakan sekaligus, dan dibagi menjadi 3 bagian. Untuk membuat dasarnya dibutuhkan tanah liat kurang lebih seberat 11 ton dan gibs untuk cetakannya sebanyak 6 ton. Jika gibs cetakan telah selesai baru dibawa ke ndalem Brontokusuman untuk diatur di atas atap gedung museum.
Menurut keterangan pimpinan pembangunan gedung museum Soerodjo dari NV I.E.C. yang dibantu oleh Djoko Soenarso bersama teman-temannya, dijelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan yang dianggap sukar adalah pengecoran koepeldak dan hiasan puncak. Potongan-potongan cetakan dari gibs mulai dinaikkan ke atas atap gedung museum. Setelah diatur sedemikian rupa baru masuk tahap pengecoran dengan beton yang dilakukan oleh I.E.C.. Menurut perhitungan bahwa jika seluruh hiasan puncak selesai dicor dengan beton maka beratnya mencapai kurang lebih 15 ton.Hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena kekuatan atap dirancang hingga 45 ton.
Pembuatan proyek hiasan puncak ini diselenggarakan oleh murid-murid SGA III Prabangkara di bawah pimpinan Prawito, Saptoto dan Hendrodjasmoro. Selain hiasan puncak oleh Prabangkara juga dibuat relief, makara dan candrasengkala. Relief dalam hal ini merupakan ornamen perhiasan tiang-tiang dan mengelilingi dinding museum dengan mengambil motif api. Jumlah Makara yang dibuat dua buah dan ditempatkan di kanan dan kiri trap pintu masuk.
Candra Sengkala di atas pintu masuk dengan tulisan yang berbunyi "Anggatra Piriantining Kusuma Negara" yang memberi catatan 1959. Pencipta dari Candra Sengkala ini adalah R.M Kawindra Susanto dan pengecoran dilakukan kerjasama dengan NV.I.E.C. Setelah pembangunan Museum Perjuangan Yogyakarta mencapai tahap akhir, maka diadakanlah upacara pemasangan batu terakhir yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX selaku Ketua Panita Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional pada tanggal 29 Juni 1961 pada jam 19.00 WIB.
Setelah upacara pemasangan batu terakhir selesai, dilanjutkan upacara penyerahan gedung oleh Wakil NV I.E.C. yaitu Sdr. Poegoeh kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX selaku Ketua Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional. Setelah upacara pemasangan batu terakhir selesai dilaksanakan, maka anggota panitia mengadakan rapat pleno yang ke sepuluh bertempat di ruang ndalem Brontokusuman. Dalam rapat tersebut selain diperdengarkan laporan dan seksi-seksi, juga dibicarakan hal-hal yang belum selesai terkait dengan pembukaan museum untuk umum. Setelah rapat selesai, Ketua panitia menyimpulkan bahwa pembukaan Museum Perjuangan Yogyakarta yang semula direncanakan tanggal 6 Juli 1961 diundur menjadi tanggal 5 Oktober 1961, bertepatan dengan peringatan Hari Angkatan Perang. Hal itu dengan pertimbangan, antara lain :
1. Persiapan interior museum belum selesai.
2. Diselenggarakannya Pekan Raya Dwi Windu Kemerdekaan RI dari tanggal 6 Juli -24 Agustus 1961.
3. Adanya pertunjukan Ballet Ramayana di Prambanan, hingga suasana tidak menguntungkan untuk membuka museum untuk umum.
Meski demikian, rencana tersebut juga tidak dapat terlaksana karena suatu hal. Akhirnya museum berhasil dibuka untuk umum pada tanggal 17 November 1961 oleh Sri Paku Alam VIII melalui sebuah upacara pembukaan.
Dari uraian di atas, secara ringkas proses pembangunan Museum Perjuangan Yogyakarta dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Pemasangan Patok pertama tanggal 17 Agustus 1959 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda tempat akan dibangunnya Museum Perjuangan Yogyakarta.
2. Pencangkulan pertama tanggal 5 Oktober 1959 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda dimulainya pembangunan Museum Perjuangan Yogyakarta
3. Pemasangan batu terakhir tanggal 29 Juni 1961 oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, sebagai tanda berakhirnya pembangunan Museum Perjuang Yogyakarta.
4. Upacara Pembukaan Museum tanggal 17 November 1961 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda dibukanya Museum Perjuangan Yogyakarta untuk umum.
Setelah museum dibuka untuk umum selanjutnya museum dikelola langsung oleh panitia setengah abad kebangkitan nasional di Yogyakarta. Meski demikian secara operasional pengelolaan Museum Perjuangan ditangani oleh Jawatan Penerangan Daerah Istimewa Yogyakarta (Japendi). Oleh karena pengelolaan museum ditangani oleh sebuah panitia dan bukan sebuah yayasan yang dibentuk untuk menanganinya, maka kegiatan Museum Perjuangan Yogyakarta mengalami pasang surut. Bahkan sempat tutup beberapa waktu lamanya.
C. KERATON YOGYAKARTA
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitekturdihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta". Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar lanskap kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII(bertahta tahun 1921-1939).
BAB III KESIMPULAN
sejarah berdirinya candi borobudur diperkirakan dibangun pada tahun 750 masehi oleh kerajaan syailendra yang pada waktu itu menganut agama budha,pembangunan itu sangat misterius karena manusia pada abad ke 7 belum mengenal perhitungan arsitektur yang tinggi tetapi borobudur dibangun perhitungan arsitektur yang canggih ,hingga kini tidak satu pun yang dapat menjelaskan bagaimana cara pembangunan dan sejarah candi borobudur ini
Pada tanggal 20 Mei 1958, di halaman Gedung Agung, Yogyakarta diadakan upacara peringatan setengah abad kebangkitan nasional. Selain itu juga dilakukan rangkaian kegiatan antara lain kerja bakti, gerakan menambah hasil bumi, mengumpulkan bingkisan untuk dikirim kepada kesatuan-kesatuan yang sedang berjuang menumpas pemberontakan, serta mengadakan ziarah ke makam para pahlawan nasional. Meski demikian, panitia merasa ada sesuatu yang kurang. Oleh karena itulah muncul gagasan Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku ketua Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengadakan suatu peninggalan kepada generasi mendatang.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah
pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.anton-nb.com/2015/09/sejarah-candi-borobudur.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Perjuangan_Yogyakarta
https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat
Post a Comment
0 Comments