makalah fiqih tentang kaidah ushul fiqih: mantuq, mafhum, dan nash

BAB I PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat bagi Nabi Muhammad Saw yang diberikan oleh Allah Swt. Al-Quran berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi, mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila kita perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya, tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit tentang : Mantuq, Mahfum, dan Nash dalam Al-Qur’an.
B.  RUMUSAN MASALAH

1.    Apa itu Mantuq?;
2.    Apa itu Mahfum? Dan;
3.    Apa itu Nash.

C.  TUJUAN PENULISAN

1.    Untuk mencari tahu tentang Mantuq;
2.    Untuk mencari tahu tentang Mahfum dan;
3.    Untuk mencari tahu tentang Nash.


BAB II PEMBAHASAN
A.  MANTUQ
1.    PENGERTIAN MANTUQ
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat).
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam Al-Isra’ 23, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S Al-Isra’ ayat 23).
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu.

2.    PEMBAGIAN MANTUQ
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1)    Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT, “Maka wajib berpuasa tiga hari” (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2)    Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu” (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.
3)      Mu’awwal adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat.
4)      Dalalah iqtida/ Iqtida’i al Nass’ adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna yang tepat tapi bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS. An Nisa (4): 23,

“ diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
5)      Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna yang tepat berdasarkan isyarat lafadh. Contohnya pada QS Al Baqarah (2): 187,
 






       
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istriistri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian memaksa kita, pagi dalam keadaan junub.
Halaman: 1 2 3 4
klik tombol download dibawah unutk men-download file docx (microsoft word siap print) makalah ini




Post a Comment

0 Comments